Pemenuhan Hak Anak Berkonflik Hukum dan Upaya Penegakan Due Process Of Law
Borneo.news, Bogor | Indonesia adalah negara hukum,dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia terdapat prinsip umum yang mendasari yaitu salah satunya adalah adanya upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Sebagai bentuk komitmen terhadap hak asasi manusia, Indonesia telah meratifikasi berbagai instrument HAM internasional,dengan diratifikasinya berbagai instrument pokok norma-norma hak asasi yang tercantum di dalam instrument-instrumen pokok tersebut, mengikat Negara Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land).
Pemerintah Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan yang termasuk dalam hukum HAM internasional tersebut dan sekaligus mengakui bahwa hak-hak yang terkandung dalam instrument tersebut dimiliki oleh individu.
Adapun individu yang dimaksud di dalamnya termasuk pula hak-hak asasi dari para pelanggar hukum yang sering kali luput dari perhatian dan diabaikan karena dianggap sebagai orang-orang yang berprilaku menyimpang sehingga layak diberikan perlakuan yang berbeda dari warga negara lain.
Sayangnya hal ini bukan hanya terjadi bagi pelanggar hukum dewasa tetapi juga bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Salah satu permasalahan yang masih sering dijumpai hingga saat ini adalah penempatan anak berkonflik dengan hukum di Rutan dan Lapas baik ketika masih menjalani proses adjudikasi maupun setelah perkaranya diputus oleh Hakim.
Berdasarkan data pada Sistem Database Pemasyarakatan, hingga Januari 2024 terdapat 422 anak yang sedang menjalani penahanan di sejumlah UPT Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dari jumlah tersebut, 131 diantaranya menjalani penahanan di LPKA sementara 291 lainnya menjalani penahanan di Lapas ataupun Rutan dewasa. Sementara itu pada periode yang sama dari 1.571 orang anak yang sedang menjalani pidana penjara, 264 diantaranya masih menjalani pidananya di Lapas dewasa.
Mengapa hal ini harus mendapatkan perhatian? Karena Lapas dan Rutan sesungguhnya bukan ditujukan untuk anak. Program pembinaan dan perawatan yang tersedia khususnya ditujukan bagi warga binaan dewasa. Hal ini adalah wajar mengingat untuk anak sendiri sudah ada tempat pembinaan khusus yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang memang memiliki program pembinaan dan perawatan yang dibuat untuk warga binaan anak.
Dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum terdapat mekanisme khusus yaitu melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Salah satu acuan dalam UU SPPA adalah Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Undang-undang ini lahir dengan pertimbangan bahwa anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Karena adanya penghayatan atas kepentingan terbaik bagi anak maka seluruh proses di dalamnya dijalankan dan dilaksanakan dengan memikirkan solusi terbaik untuk anak karena itulah pendekatan yang diutamakan dalam UU SPPA adalah restoratif justice bukan retributif yang menjadikan pembalasan sebagai tujuan dari pemidanaan terhadap anak berkonflik dengan hukum.
Adapun asas-asas dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 2 UU SPPA antara lain :
a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Nondiskriminasi;
d. Kepentingan terbaik bagi Anak;
e. Penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. Proporsional;
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
j. Penghindaran pembalasan.
Berdasarkan poin di atas maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah penahanan dan pelaksanaan pidana penjara anak di Lapas/Rutan dewasa dapat mengakomodir asas-asas yang mendasari pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak? Berikut analisa pelaksanaan penahanan dan pidana penjara bagi anak berdasarkan UU SPPA:
1. Penahanan
Ketentuan terkait penahanan diatur dalam Pasal 32 hingga Pasal 40 UU SPPA.
Pertama, menurut Pasal 32 ayat (1) UU SPPA pada dasarnya penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Mayoritas orang tua anak yang berkonflik dengan hukum tentu menginginkan anaknya tidak menjalani penahanan dan untuk itu bersedia untuk memberikan jaminan.
Namun kekhawatiran pihak penyidik bahwa anak akan melarikan diri dan sulit untuk dihadirkan pada saat pelimpahan berkas ke kejaksaaan ataupun pada saat akan dilaksanakan persidangan membuat penahanan menjadi upaya yang sering dipilih meskipun terdapat asas perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dalam Pasal 2 UU SPPA.
Kedua, dalam Pasal 1 ayat (4) UU SPPA selama Anak ditahan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi dan Pasal 1 ayat (5) UU SPPA mengatakan bahwa untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS. Kedua ketentuan ini mengamanatkan bahwa penahanan terhadap anak harus dilakukan dengan tetap memperhatikan hak-hak anak sebagaimana asas-asas dalam Pasal 2 UU SPPA yaitu asas perlindungan dan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.
Oleh karena itu diperlukan pula mekanisme serta sarana yang memang siap untuk melakukan hal tersebut. Lapas/Rutan meskipun dapat mengusahakan kebutuhan jasmani anak namun belum tentu dapat mengakomodir kebutuhan rohani dan sosial anak mengingat mayoritas penghuninya adalah narapidana dewasa.
Ketiga, Pasal 33 UU SPPA memberikan penegasan kembali terkait tempat penahanan untuk anak yaitu dalam Pasal 4 yang mengatakan bahwa Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS dan Pasal 5 yaitu dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat. Sehingga UU SPPA tidak mengatur tentang mekanisme penahanan anak di Lapas. Untuk itu dalam pelaksanaannya perlu juga dipertimbangkan asas kepentingan terbaik bagi anak untuk memilih tempat penahanan bagi anak yang berkonflik dengan hukum.
Penahanan anak di LPKA memang seharusnya di hindari. Mengingat anak yang menjalani penahanan masih dalam proses hukum dan menurut asas praduga tak bersalah maka anak tersebut seharusnya mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan pelaku yang sudah dinyatakan bersalah melalui putusan Hakim.
Anak yang masih menjalani proses adjudikasi masih mungkin tidak dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang disangkakan ataupun didakwakan terhadapnya namun dengan penempatan anak-anak tersebut di Lapas seolah-olah sudah memberikan hukuman terhadap anak tersebut. Hal ini diperburuk juga dengan stigma bahwa anak tersebut pernah menghuni Lapas yang akan melekat sesudahnya.
2. Pelaksanaan Pidana Penjara Anak di Lapas
Pidana penjara merupakan salah satu pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak berkonflik dengan hukum dalam Pasal 71 ayat (1) huruf e UU SPPA. Laporan hasil studi, analisis, dan penulisan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) memperlihatkan hukuman penjara (atau penempatan Anak di LPKA) sebagai hukuman yang paling sering diputus oleh hakim. Setidaknya 587 dari 651 kasus (90%) diputus dengan hukuman penjara.
Ketentuan terkait pelaksanaan pidana penjara bagi anak terdapat dalam Pasal 81 dan Pasal 85 UU SPPA. Berdasarkan Pasal 81 dan Pasal 85 tersebut maka UU SPPA sungguh ingin mengedepankan bahwa asas perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir. Namun sebagaimana pelanggar hukum dewasa lainnya, anak yang sudah terbukti dan dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan harus menjalani pembinaan dan karenanya stigma bahwa mereka akan membahayakan masyarakat mengantarkan mereka pada suatu perampasan kemerdekaan.
Perampasan kemerdekaan tersebut sesungguhnya merupakan upaya terakhir dan tujuannya adalah membina anak yang berkonflik dengan hukum. Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Tujuan pembinaan bagi Narapidana dan Anak yang berkonflik dengan hukum, berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan.
Karena tujuannya adalah membina sebagaimana kosep rehabilitasi maka perlu dilakukan penilaian terhadap kebutuhan program pembinaan dan perawatan anak tersebut. Setelah diketahui kebutuhannya maka akan dilaksanakan program yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut yang tidak jarang berbeda antara satu anak dengan yang lain.
Upaya untuk menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana Pasal 85 ayat (3) merupakan sesuatu yang wajib. Untuk itu diperlukan satu lembaga yang memang dipersiapkan untuk memberikan pelayanan terkait program pembinaan dan perawatan bagi anak yaitu LPKA. Pendapat ini bukan untuk mengecilkan upaya Lapas/Rutan dalam membina anak, namun berbicara tentang kondisi ideal maka lembaga yang lebih ideal untuk melakukan hal ini adalah LPKA.
Berdasarkan analisa di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya UU SPPA mengedepankan asas perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir bagi anak. Akan tetapi dalam prakteknya hal tersebut masih menemui kendala seperti kondisi anak yang menjalani penahanan dan pidana penjara di Lapas/Rutan dewasa. Akibatnya, program pembinaan dan perawatan anak menjadi kurang efektif mengingat Lapas dan Rutan bukan ditujukan untuk anak, melainkan untuk tahanan dan warga binaan dewasa.
Untuk itu perlu mekanisme serta sarana yang siap untuk untuk memenuhi hak-hak bagi anak sebagaimana dirumuskan dalam UU SPPA.
Terkait kondisi di atas, perlu pertimbangan yang matang dalam memilih tempat penahanan dan juga tempat pelaksanaan pidana bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia menerbitkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025 yang mencantumkan berbagai strategi berkaitan dengan anak berkonflik dengan hukum.
Beberapa aspek yang perlu direalisasikan terkait dengan hak Anak diantaranya terkait pemberian layanan pendidikan, kesehatan fisik dan psikososial bagi anak berkonflik dengan hukum, melaksanakan UU SPPA secara efektif serta menjamin perlindungan, penghormatan, pemenuhan hak anak dan optimalisasi layanan bantuan hukum bagi anak berkonflik dengan hukum.
Dalam pertimbangan UU SPPA disebutkan bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan pelindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan.
Diperlukan pemahaman yang sama terhadap sistem peradilan pidana anak diantara para aparat penegak hukum agar perlindungan terhadap anak dapat benar-benar dijaga di samping anak tersebut dihadapkan pada peradilan pidana karena diduga telah melakukan tindak pidana tertentu.
Penulis : (Julizar Jusuf H)