KKI Sebut Penyebar Hoaks Terkait Boikot Dapat Terancam Hukuman Pidana
Borneo.news Jakarta – Isu mengenai sejumlah produk yang di duga mendukung agresi Israel beredar di sosial media dan bahkan sejumlah media nasional. Hal itu telah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan membuat kebingungan.
Bahkan menimbulkan adanya intimidasi dan presekusi kepada pihak-pihak yang diduga punya keterkaitan dengan Perusahaan atau produk yang masuk dalam daftar boikot. Kebingungan di masyarakat ini terjadi sejak munculnya Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 83 Tahun 2023 terkait dukungan terhadap Palestina.
Meskipun memiliki tujuan yang mulia, implementasi fatwa ini dipersepsikan salah oleh masyarakat, seolah MUI membenarkan adanya aksi boikot terhadap sejumlah produk. Padahal MUI sudah menyatakan bahwa pihaknya tak pernah mengeluarkan daftar produk yang beredar luas di sosial media dan sejumlah media nasional.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan keterangan dari KH Ma’ruf Amin selaku Wakil Presiden Republik Indonesia mengingatkan bahwa jangan sampai gerakan boikot yang terjadi menjadi salah alamat yang dikhawatirkan dapat berdampak pada peningkatan pengangguran. Jusuf Kalla selaku Ketua Umum Palang Merah Indonesia sekaligus Ketua Dewan Masjid Indonesia juga telah menyatakan bahwa masyarakat dapat menikmati produk yang memiliki label halal.
Lebih lanjut, Jusuf Kalla meminta masyarakat bijak untuk menanggapi seruan boikot tersebut sehingga tidak menimbulkan masalah. Dr. David M.L Tobing seorang pengamat hukum dan Ketua Komunitas Konsumen Indonesia menyatakan.
"Situasi saat ini menciptakan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan bukan hanya produsen tetapi juga konsumen. Apalagi beredarnya hoax di media sosial semakin tidak terkendali, dan ini dapat membawa dampak serius terhadap keberlanjutan industri swasta dan jutaan pekerjanya. Masyarakat langsung memukul rata kalau semua Perusahaan internasional semuanya mendukung Israel dan aksi agresi yang dianggap tidak sejalan dengan kemanusiaan. Padahal tidak ada buktinya, hanya berdasarkan asumsi dan cocoklogi, " tuturnya, Sabtu (2/12/2023)
Dampak dari penyebaran hoaks terkait daftar produk untuk di boikot menciptakan kekacauan di masyarakat. Meskipun daftar tersebut awalnya menimbulkan kekhawatiran karena ajakan untuk melakukan boikot, ternyata informasi tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan bahwa daftar tersebut adalah hoaks, sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memastikan tidak pernah mengeluarkan daftar boikot.
Menurut MUI, selama produk memiliki label halal, itu berarti aman untuk dibeli dan dikonsumsi. Dengan demikian, penyebaran hoaks ini tidak hanya menimbulkan kepanikan tanpa alasan yang jelas, tetapi juga merugikan produsen dan konsumen yang tidak bersalah.
David Tobing juga menyoroti kebutuhan akan klarifikasi lebih lanjut dari berbagai lembaga pemerintah atau organisasi terpercaya seperti MUI, Kominfo, Kemendag, KADIN.
"Perlu adanya pedoman yang lebih rinci dan jelas untuk membantu menghindari kebingungan dan ketidakpastian, serta melindungi iklim industri agar kembali kodusif, ketersediaan lapangan pekerjaan terjaga dan konsumen mendapat panduan yang jelas," jelasnya.
Dengan berkembangnya ekonomi global dan saling ketergantungan dalam rantai pasok, penting untuk memahami bahwa dampak dari keputusan seperti fatwa ini tidak hanya bersifat lokal tetapi juga dapat memengaruhi reputasi internasional Indonesia sebagai tempat dan tujuan berbisnis. Pakar Hukum dari Universitas Indonesia ini juga menduga banyak penumpang gelap yang mengambil kesempatan untuk melakukan praktik-praktik persaingan usaha yang tidak sehat, dan ini sangat disayangkan.
“Praktik persaingan tidak sehat seperti ini bahaya, bisa melanggar aturan tentang laranganmelakukan praktek diskriminasi yang konsekuensinya dapat dikenai pidana denda ataukurungan, " ucapnya.
Selain itu, banyaknya link terkait gerakan boikot (BDS movement) semakin membingungkan masyarakat. Dalam menghadapi informasi yang tidak jelas kebenarannya, penting bagi konsumen untuk menjadi pintar dalam memilih sumber informasi.
“Dengan adanya banyak link yang tidak dapat dipastikan kebenaran informasinya, konsumen harus lebih berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi, serta mengambil keputusan” kata David.
Lebih jauh David menjelaskan bahwa tindakan menyebarkan isu boikot dan informasi palsu dapat berujung pada konsekuensi hukum, karena Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) melarang produksi dan penyebaran hoaks, dengan ancaman hukuman 5-6 tahun penjara dan denda hingga 1 miliar rupiah sesuai dengan Pasal 28 ayat 1 UU ITE. Oleh karena itu, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan bahaya menyebarkan hoaks dan memastikan informasi yang mereka terima berasal dari sumber yang dapat dipercaya.
"Pemerintah dan lembaga terkait khususnya Kementerian Komunikasi dan Informasi perlu mempertimbangkan dampak, seiring perkembangan misinformasi bahkan hoaks, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan penyesuaian agar pemahaman atas fatwa ini tidak merugikan perekonomian dan keadilan hukum di Indonesia, yan ujung-ujung nya konsumen atau masyarakat yang dirugikan" tutup David. (Red)