Kejaksaan Diminta Tangkap Pejabat Perhutani Lebak Selatan

Kejaksaan Diminta Tangkap Pejabat Perhutani Lebak Selatan

Smallest Font
Largest Font

borneo, LEBAK - Pimpinan Perhutani Lebak Selatan dilaporkan oleh Matahukum ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Lebak beberapa hari yang lalu. Laporan tersebut dilakukan terkait dugaan pembiaran aktifitas penambangan illegal dilakukan PT Tri Jaya Mineralin (TJM) Blok Cidahu, Desa Karang, Kecamatan Cihara yang berada di Kawasan Hutan Negara Indonesia (Perhutani)

“Benar, waktu hari Kamis saya melaporkan Kepala Perhutani Lebak Selatan ke Kejaksaan Negeri Lebak terkait dugaan pembiaran aktifitas pertambangan illegal di Blok Cidahu, Desa Karang, Kecamatan Cihara yang dilakukan oleh PT Tri Jaya Mineralin (TJM). Informasi yang didapat tersangka dari PT TJM akan segera disidangkan di PN Rangkasbitung,’’ kata Sekjen Matahukum, Mukhsin Nasir melalui pernyataannya, Sabtu (28/10/2023).

Lebih lanjut, kata Mukhsin, Pemerintah memberikan penugasan kepada Perhutani untuk pengelolaan hutan di Hutan Negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten. Kecuali, kata Mukhsin, hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. 

Pengelolaan hutan negara tersebut meliputi, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan, konservasi alam,’’ jelas Mukhsin.

Dijelaskan Mukhsin, berdasarkan Pasal 105 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 di atur setiap pejabat yang ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

“Dengan demikian, dalam hal ditemukan pejabat dari suatu perusahaan yang ditegaskan untuk melakukan pengelolaan hutan negara dan diindikasikan ikut serta membantu kegiatan penggugaan kawasan hutan secara tidak sah, maka pejabat tersebut dapat dikenakan pidana penjara dan pidana denda,’’ tutur Mukhsin.

Menurut Mukhsin, aktifitas galian tambang yang dilakukan PT TJM itu dianggap ilegal karena ditengarai diduga belum mengantongi izin resmi baik dari Perhutani, ESDM dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

“Kecurigaan saya adalah, lahan Perhutani yang mulanya tidak bisa ditambang, kok bisa ditambang. Informasi teman lapangan, dan memang terjadi penambangan di tanah perhutani seluas 10 hektare. Saya juga sempat di telepon oleh oknum penyidik yang mengaku dari dari Polda yang menanyakan tentang beberapa lokasi galian tambang di Lebak yang rencananya mereka akan menerjunkan tim ke lokasi galian tersebut,” kata Mukhsin yang kerap disapa Daeng.

Tapi hal tersebut kata Mukhsin, sebelum adanya viral penangkapan dan penutupan aktifitas galian pertambangan illegal di Blok Cidahu, Desa Karang, Cihara yang dilakukan PT TJM berada dalam tanah milik Kawasan Perhutani luasnya 10 hektare. Kata Mukhsin, pihaknya saat ini lebih memfocuskan pelaporan tentang dugaan keterlibatan Perhutani di Lebak Selatan.

“Logikanya tidak mungkin pengusaha melakukan pertambangan dan perhutani termasuk kepala perhutani di lebak Selatan maupun Perhutani Provinsi Banten tidak mengetahuinya. Ini jelas Kejaksaan harus memanggil dan segera menangkap Perhutani untuk meminta keterangan dari pihak pejabat perhutani yaitu Asper atas tindak pidana pertambangan pasir illegal yang terjadi di wilayah Kawasan perhutani,’’ tegas pria yang berbadan kecil tersebut dengan membuktikan dokumen yang dia laporkan di Kejaksaan Negeri Lebak.

Selanjutnya, Mukhsin menjelaskan bahwa undang undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan pengerusakan hutan yang isinya adalah menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku pengerusakan hutan. Dalam ini udang undang tersebut juga dituangkan untuk menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan hutan dengan cara menjaga kelestarian hutan. 

“Jelas intinya merusak lingkungan dan ekosistem sekitarntya. Mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya Masyarakat Sejahtera,’’ ucap Mukhsin.

Dikatakan Mukshin, perlu adanya juga meningkatnya kemampuan koordinasi apparat penegah hukum dan pihak pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan pengerusakan hutan. Tujuannya, kata Mukhsin agar dapat direalisasikan secara optimal, maka hambatan apapun yang dapat melemahkan ataupun menghambat kinerja undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan, pemberantasan dan pengerusakan hutan harus dapat di identifikasi dan ditanggulangi. 

“Sekali lagi, saya memohon kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lebak untuk memanggil dan memeriksa serta meminta keterangan Kepala Perhutani Wilayah Lebak Selatan yang berada di kawasan Cihara terkait dengan terjadinya tindak pidana pengerusakan hutan perhutani seluas 10 hektare oleh PT Tri Jaya Mineralin (TJM) yang saat ini sedang memasuki masa persidangan di Pengadilan Negeri Rangkasbitung,’’ tegas Mukhsin.

Ditambahkan Mukshin, pihaknya juga mengkalim memiliki data Kawasan perhutani yang diduga dijadikan erea pertambangan di wilayah Lebak. Menurut Mukhsin, dalam waktu dekat data tersebut juga akan dilaporkan kembali ke pihak penegak hukum. Tujuannya agar asset-aset negara tidak salah gunakan oleh mafia tambang untuk kepentingan pribadinya tanpa memikirkan dampak kerusakannya.

“Pasti akan kita laporkan kembali dalam waktu dekat,’’ ujar pria yang biasa menghisap rokok filter tersebut.

Selain itu, Matahukum juga focus menyoroti banyaknya aktifitas perusahaan galian pertambangan diantaranya Pertambangan Galian Pasir, Pertambangan Galian Tanah Merah Ilegal, Galian Batubara dan Galian Tambang Emas di Lebal dan Serang yang tak mrmiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Kementerian ESDM ataupun Pemerintah Pusat. Hal tersebut perlu adanya upaya serius dari aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan Tinggi (Kajati) Banten.

“Yang terbaru adalah dampak galian tanah menyebabkan dua orang meninggal salah satu sopir truk dan satu lagi adalah pekerja beko yang tertimbun material tanah lokasinya di depan pintu tol Rangkasbitung beberapa hari yang lalu. Ini menjadi catatan bagi APH dan Pemerintah daerah untuk serius menindak dan menutup galian-galian pertambangan ilagal di Lebak karena berbahaya dan merusak lingkungan,’’ beber Mukhsin.

“Beberapa bulan terakhir juga Kejaksaan Agung yang menetapkan Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin sebagai tersangka sudah tepat. Mengingat pertambangan merupakan salah satu kejahatan ekonomi yang sangat luar biasa, maka perlu dukungan atau dorongan serius untuk Alat Penegak Hukum Khususnya Kejaksaan terlibat aktif melakukan pemantauan dan peneritban terhadap aktifitas galian pertambangan di Lebak dan Serang yang tak memiliki IUP,” tambah Mukhsin Nasir.

Dijelaskan Mukhsin, untuk modus perusaaan tambang biasanya mereka hanya memiliki rekomendasi ingkungan atau pun dari daerah setempat. Karena, kata Mukhsin mereka menyadari untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak mudah dan membutuhkan biaya yang sangat tinggi.

“Saya bisa pastikan banyak aktifitas pertambangan di Lebak dan Serang yang tak miliki IUP dari pemerintah pusat ini sudah berlangsung cukup lama karena adanya pembiaran serta biaya yang mahal. Maka dari itu, saya mendorong Kejaksaan Tinggi Banten melakukan upaya pengawasan dan langkah hukum seperti yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terkait SIUP dengan menetapkan Dirjen Dirjen Minerba,” tegas Mukhsin.

Padahal, intruksi Presiden Joko Widodo sendiri sudah tegas untuk meminta Pemprov Banten dan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya untuk segera menghentikan pertambangan batubara, galian pasir, dan emas ilegal yang merugikan masyarakat.

“Pertambangan ilegal tidak bisa ditoleransi,karena keuntungan satu dua tiga orang, kemudian ribuan lainnya dirugikan terkait dampak kerusakan alam yang kemudian menyebabkan bencana,” ucap Mukhsin dengan menirukan pernyataan Presiden Joko Widodo.

Kata Mukhsin, Mata Hukum berharap, APH untuk melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi atas dugaan penambangan illegal terhadap pihak perusahaan penambangan dikarenakan aktivitas penambangan yang tidak memiliki izin sah dan memenuhi persyaratan. Kata Mukhsin, pihaknya juga mendorong kalau ada oknum aparat penegak hukum (APH) baik itu kejaksaan, kepolisian maupun TNI yang diduga terlibat dan menerima setoran dari praktik penambangan ilegal di Lebak dan Serang agar segera berhenti dan mundur.

Disinggung tentang data perushaan tambang yang diduga tak miliki IUP di Lebak, kata Mukhsin pihaknya telah mengantongi nama-nama perusahaan memang masih beroperasi. Kata Mukhsin ada puluhan perusahaan pertambangan yang tak miliki IUP bahkan ratusan tapi masih beroeprasi.

Untuk titik-titik lokasi kegiatan pertambangan yang masih kerap beroperasi kata Mukhsin, dia menyebut tersebar di beberapa kecamatan. Seperti di Lebak yaitu lokasinya di Sajira, Banjarsari, Cihara, Cimarga, dan Bayah. Tambang emas tersebar di Kecamatan Cibeber, Bayah, Panggarangan, Cihara, dan Lebakgedong. Tambang batubara di Kecamatan Panggarangan, Bayah, Bojongmanik, Cilograng, dan Cihara. Sementara galian tanah di Kecamatan Maja, Curugbitung, Sajira, Cibadak, dan Cikulur.

“Tambang pasir di Citeras, Kabupaten Lebak, yang beroperasi masih beraktivitas sampai sekarang. Di sana, ada beberapa perusahaan tambang yang masih beroperasi. Namun, sebagian besar pengusaha tambang telah meninggalkan lokasi pertambangan. Tidak ada upaya pemulihan lingkungan setelah kegiatan tambang selesai. Karena itu, di wilayah Citeras dan sekitarnya ditemukan banyak kolam besar dengan kedalaman lebih dari tiga meter yang menjadi bekas tambang pasir,” tutur Mukhsin.

“Kolam-kolam besar yang membentuk danau ditinggalkan begitu saja oleh pengusaha tambang. Tidak ada upaya reklamasi memulihkan kondisi lahan pasca-tambang. Bekas galian tambang membahayakan keselamatan masyarakat,” tambah Mulhin.

Sementara itu, kata Mukhsin untuk di Cimarga belasan tambang pasir masih aktif beroperasi. Tiap hari, lalu lalang kendaraan dengan muatan pasir basah dan overtonase melintas di Jalan Raya Leuwidamar dan Jalan Maulana Hasanudin.

Dikatakan, Mukhsin, keberadaan angkutan pasir dikeluhkan masyarakat karena mengakibatkan jalan licin, kotor, dan dituding penyebab kerusakan jalan yang dibangun pemerintah dengan anggaran miliaran rupiah. Bahkan, informasinya, pada awal Desember 2020 terjadi banjir besar yang merendam ribuan rumah di Banjarsari. Banjir luapan sungai Ciliman dan Cilemer dituding akibat pendangkalan sungai karena limbah tambang pasir mengalir ke sungai dan ke persawahan.

“Sebagian besar, tambang emas dan batubara merupakan pertambangan rakyat terletak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Jumlah pertambangan emas tanpa izin (PETI) di TNGHS," katanya.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Achmad Dimyati Natakusumah menyoroti tentang penangkapan bos tambang pasir di area 10 hektare kawasan hutan milik negara atau Perhutani di Kabupaten Lebak Selaran. Menurut Dimyati pihak Perhutani orang yang bertanggung jawab atas pembiaran aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh PT TJM dalam kurun waktu empat (4) bulan.

“Perhutani pasti ikut terlibat dan kerjasama dalam akifitas pertambangan di 10 hektare area Perhutani Lebak Selatan. Karena dilakukan 4 bulan lebih, mereka juga membiarkan aktifitas tersebut, sehingga harus diperiksa,” kata Anggota DPR RI dari Komisi III, Achmad Dimyati Natakusuma melalui sambungan selulernya, Selasa (11/9/2023).

Disinggung terkait sangksi yang harus diterapkan kepada pihak Perhutani, mantan Bupati Pandeglang tersebut mengatakan bahwa Perhutani bisa dijerat ke dalam keikut sertaan dalam memberikan bantuan kepada seseorang atau pengusaha TJM itu sendiri. Menurut Dimyati, pihak Perhutani bisa dikategorikan terkait sebagai Deelneming, dimana dalam mereka yang melakukan tindak pidana dalam hukum pidana Indonesia adalah orang yang secara sendiri telah memenuhi segala unsur dalam suatu rumusan tindak pidana.

“Orang ini disebut orang yang melakukan (pleger). Ia dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana. Akan tetapi, pelaku ini tidak selalu bekerja sendiri. Seringkali suatu tindak pidana dilakukan oleh beberapa pelaku, atau, dari seseorang, orang lain dapat melakukan kejahatan itu. Bentuk-bentuk penyertaan terdapat dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Maka dari Itu, saya mendorong Kepolisian dan Kejahatan tutur melakukan pemeriksaan terhadap Perhutani agar kasus serupa tak kembali dialami di Lebak Banten,” ucap pria yang kerap murah tersenyum tersebut.

Sementara itu, Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyoroti penangkapan bos tambang pasir di area 10 hektare kawasan Perhutani Kabupaten Lebak Selaran. Menurut Fickar sangat mustahil dalam kurun waktu empat (4) bulan pihak Perhutani tidak mengikuti kegiatan pertambangan yang dilakukan PT TJM.

“Ya sangat mustahil, dalam waktu empat bulan Perhutani tak mengetahui kegiatan pertambangan karena day to day hutan itu ada pengawasnya,” kata Ahli Fakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Andul Fickar Hadjar lewat sambungan teleponnya, Selasa (11/9/2023).

Lebih lanjut, kata Fickar sapaan akrabnya mengatakan, pihak penegak hukum dari Kepolisian ataupun Kejaksaan harus bisa memeriksa mereka yang mengetahui dan mendiamkan para pegawai di level pengawasan ataupun lapangan, Karena kata Fickar, mereka telah membiarkan aktifitas pertambangan terus berlanjut.

“Pengawasan dari Perhutani ataupun Eksekutif harus diperiksa juga karena tidak mustahil hasilnya mengalir ke mereka,” tegas Fickar yang kerap kali muncul untuk menyoroti isu hukum pindana di Kejaksaan Agung dan Kepolisian. (Egr)

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
SR Author