Aktivis Milenial: Kompetisi Politik dalam Pemilu Jangan Menjadi Konflik Sosial
Borneo.news Jakarta - KOMPETISI politik, khususnya pilpres, begitu terasa memunculkan konflik horizontal yang berdampak pada kerekatan persatuan bangsa. Pun ketegangan politik Pemilu 2024 sangat mungkin berdampak pada menguatnya polarisasi pada masyarakat.
Hal itu dikatakan Koordinator Nasional Himpunan Aktivis Milenial Indonesia (HAMI), Asip Irama, di seminar politik bertajuk Masa Depan Indonesia Pasca Pemilu: Upaya Wujudkan Rekonsiliasi Bangsa Demi Demokrasi Bermartabat, di Jakarta Timur, Rabu (20/3).
Seminar tersebut dihadiri sejumlah narasumber, antara lain anggota Bawaslu Jakarta Timur Ahmad Syarifudin Fajar dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PB PMII Muhammad Qusyairi.
Asip mengharapkan kompetisi politik dalam Pemilu 2024 tak perlu berlanjut menjadi konflik sosial. Dalam rangka menghindari benih-benih perpecahan dan disintegrasi, ia mendorong semua kalangan untuk berbesar hati membangun upaya rekonsiliasi dan reintegrasi.
“Semua eksponen politik di Indonesia mesti memiliki sikap besar hati untuk kembali membangun keakraban dan harmoni pascapemilu. Agenda rekonsiliasi menjadi upaya untuk merakit kembali biduk keakraban warganegara yang retak akibat persaingan dan perbedaan pilihan politik,” katanya.
Rekonsiliasi, lanjut Asip, memang harus diupayakan terutama oleh kalangan elite untuk membentuk kondusifitas di kalangan akar rumput. Elite politik mesti legawa menempatkan kepentingan keutuhan bangsa di atas kepentingan praksis politik kolegial.
“Bagaimanapun proses politik bernama pemilu tidak akan mampu memuaskan semua pihak. Bahkan bila ada sengketa, prosedur konstitusional memang telah menyediakan ruang sesuai koridor hukum yang berlaku, melaporkan kepada bawaslu tentang sengketa kecurangan atau gugatan ke Mahkamah Konstitusi bila terkait dengan hasil,” tandasnya.